Judul: Harry Potter dan Piala Api
Penulis: J.K. Rowling
Alih bahasa: Listiana Srisanti
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: Oktober 2001
896 hlm.; 20 cm
Penulis: J.K. Rowling
Alih bahasa: Listiana Srisanti
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: Oktober 2001
896 hlm.; 20 cm
Review:
Untuk pertama kalinya Rowling
tidak lagi berbasa-basi tentang Privet Drive di bab pertama, melainkan memberi suasana
misterius Rumah Riddle di desa Little Hangleton. Dibumbui ketegangan melalui
Wormtail yang telah bertemu dengan Voldemort dalam mimpi Harry yang membuat
bekas lukanya sangat menyakitkan dan membara, yang tanpa disadari Harry,
merupakan awal mula dari koneksi istimewa antara Harry dan Voldemort selain
tongkat mereka yang mempunyai inti bulu phoenix yang sama. Ini membuat suasana
bukunya lebih mencekam dibanding buku-buku sebelumnya, yang biasanya diawali
kedamaian di Privet Drive dengan perseteruan kecil antara Harry dan pamannya,
Vernon Dursley.
Bagian perseteruan itu masih ada
tentunya, tapi dalam buku ini jauh lebih seru dan kocak. Saya tidak yakin mana
yang lebih menghibur, keluarga Weasley menghancurkan dapur keluarga Dursley
atau lidah Dudley yang membengkak akibat permen buatan Fred dan George.
Keseruan lain didapat dari Piala Dunia Quidditch yang mengenalkan pembaca pada
Veela dan Leprechaun, namun diakhiri dengan munculnya beberapa Pelahap Maut dan
Tanda Kegelapan yang membuat panik kaum penyihir.
Hogwarts menjadi tuan rumah
sebuah pertandingan yang sudah tidak diselenggarakan lebih dari seratus tahun,
Turnamen Triwizard. Di mana juara Hogwarts yang terpilih akan melawan juara
dari dua sekolah lain, Beauxbatons dan Durmstrang. Tapi ada kesalahan, nama
Harry muncul sebagai juara keempat. Tidak ada yang tahu bagaimana namanya
muncul dari Piala Api, Harry jelas tidak memenuhi persyaratan keikutsertaan
yang baru dibuat. Harry memang sudah biasa mendengar gunjingan orang, tapi di
tahun ini terasa berpuluh kali lebih berat karena Ron juga ikut memusuhinya.
Transisi dari masa kanak-kanak ke
masa remaja Harry, Ron dan Hermione terasa kental di sini. Harry dan Ron yang
sama-sama keras kepala, tidak mau minta maaf satu sama lain meskipun dalam hati
mereka sama-sama merasa kehilangan. Hermione, yang memang lebih dewasa dari kedua
temannya menengahi mereka sampai habis akal. Selain keras kepala, Harry juga
agak suka menyepelekan tugas dan mulai merasa gengsi.
Sedikit curcol:
“Buku adalah alat untuk
mengembangkan imajinasi, film sebaliknya, merusak imajinasi. Coba kamu ingat,
sebelum buku Harry Potter diadaptasi menjadi film, seperti apa wajah
tokoh-tokohnya menurut imajinasimu? Sekarang, setelah kamu menonton adaptasi
film Harry Potter kemudian membaca buku Harry Potter, seperti apa tokoh yang
kamu bayangkan? Menjadi seperti yang di film, bukan?” – Bpk. Firman, dosen di
beberapa universitas yang kebetulan sempat mengajar saya di tempat kursus.
Tidak perlu waktu yang lama untuk
menjawab “Ya,” dengan penuh kejujuran dan anggukan kepala yang meyakinkan.
Memang saya mengalaminya di semua buku Harry Potter, tapi saya paling
merasakannya di buku ini. Sebenarnya saya agak benci mengatakannya, tapi
imajinasi saya mencapai kebuntuan total ketika membaca bagian yang ada Cedric
Diggory-nya. Saya nggak nge-fans sama pemain Cedric Diggory, tapi rupanya wajah
Robert Pattinson terlalu tampan untuk disingkirkan dari otak saya. #sigh...
#sebalsendiri
Saya sudah banyak melupakan
detail-detail kecil dalam buku ini yang telah dihilangkan dalam filmnya. Saya
lupa ada tokoh bernama Ludo Bagman dan peri-rumah bernama Winky di buku. Saya
lupa bahwa murid Beauxbatons yang ke Hogwarts tidak semuanya perempuan seperti
yang digambarkan di film. Saya masih tidak yakin murid Durmstrang lelaki semua
atau ada perempuannya, mungkin saya kurang teliti membacanya, tapi sepertinya
memang tidak ada keterangan di buku. Saya juga baru ingat bahwa Bellatrix
Lestrange punya suami, kalau di film kelihatannya nggak bersuami sih. :D Saya
masih ingat Dobby yang memberikan Gillyweed untuk Harry, bukan Neville, tapi saya lupa kapan tepatnya, membuat
perut saya tetap menegang ketika membaca bagian ini.
Tokoh:
Hermione kembali digambarkan sebagai
orang yang penuh perhatian. Di buku sebelumnya, Hermione paling perhatian pada
Hagrid dibanding kedua temannya, di buku ini Hermione perhatian pada para peri-rumah
yang—menurutnya—tertindas,
sampai mendirikan S.P.E.W (Society for the Promotion of Elfish Welfare).
Menjadi yang paling bersungguh-sungguh mencari anggota, sementara Harry dan Ron
sibuk mencari pasangan untuk dansa tanpa menyadari Hermione adalah perempuan.
=))
Alastor Moody, guru baru
Pertahanan terhadap Ilmu Hitam menunjukkan pada kelas Harry tiga kutukan tak
termaafkan. Bahkan saya masih tetap menahan napas ketika membaca bagian ini.
Rowling menggambarkan perasaan Harry ketika menyaksikan kutukan Avada Kedavra
dengan sangat baik. Entah kenapa saya jadi kasihan terhadap Draco saat
ditransfigurasi menjadi musang oleh Moody, dibanting-banting seperti itu,
untung saja McGonagall segera datang. Mata ajaib Moody menjadi daya tarik
tersendiri bagi saya, dan meskipun ada yang tidak beres dengan Moody yang hadir
di Hogwarts, setidaknya Moody telah mengajarkan cara untuk melawan kutukan
Imperius, salah satu kutukan tak termaafkan yang cukup dominan di buku ini.
Rita Skeeter, reporter Daily
Prophet yang menyebalkan. Memperparah tekanan yang harus dihadapi Harry, tapi
Rita skeeter pastilah penyihir hebat karena ternyata dia seorang animagus tidak
terdaftar.
Barty Crouch Jr. pastilah penyihir
yang sangat hebat, bisa mengelabuhi Albus Dumbledore dengan Occlumency yang
mungkin lebih hebat dari Severus Snape. Sayang cuma muncul di buku ini.
Hasil kepo:
Dari Omniocular, salah satu pertanyaan
saya di review sebelumnya terjawab. Ya, Harry memberi hadiah natal untuk
teman-temannya, tapi hadiah ulang tahunnya belum tahu sih. Hihihi...
#kagakpenting
Sepertinya sinis dan kocaknya Ron
itu diturunkan dari Mrs. Weasley, hanya saja Mrs. Weasley lebih jarang. Mungkin
karena faktor usia. :P
“Baik,” tukas Mrs. Weasley
jengkel. “Telanjang saja kalau begitu. Dan, Harry, jangan lupa foto dia:
Kebetulan sekali, aku perlu ketawa.” – p. 195
Ada beberapa ironi yang saya tangkap
di buku ini. Misal:
“Barty Crouch berkali-kali
bilang begitu,” kata Bagman, matanya yang bulat melebar dengan polos, “tapi
saat ini betul-betul sibuk sekali, kita tak bisa kirim orang. Oh... panjang
umur! Barty!” – p. 116
Kematian menghampiri yang panjang
umur.
“Dan itulah sebabnya,
anak-anak,” teriak Mr. Weasley mengatasi kebisingan penonton di bawah, “jangan
menilai orang hanya dari wajahnya saja!” – p. 142
“Jadi... kalian sudah punya
pasangan untuk pesta dansa?”
“Belum,” jawab Ron.
“Kalau begitu harus buru-buru,
kalau tidak yang cantik-cantik sudah keambil semua,” kata Fred. – p. 475
“Kita harus bergerak, kau
tahu... minta seseorang. Dia betul. Kita kan tak mau terpaksa pergi dengan sepasang
Troll.”
Hermione mendengus jengkel.
“Sepasang... apa, maaf?”
“Ah... kau tahu,” kata Ron
mengangkat bahu. “Lebih baik aku pergi sendiri daripada dengan—Eloise
Midgen, misalnya.”
“Belakangan ini jerawatnya
sudah banyak berkurang—dan dia sangat menyenangkan!”
“Hidungnya miring,” kata Ron.
“Oh, begitu,” kata Hermione,
siap berperang. “Jadi, pada dasarnya kalian akan mengajak gadis tercantik yang
mau, meskipun dia sangat menyebalkan?”
“Er... yeah, kira-kira begitu,”
kata Ron. – p. 476
Yang tidak menilai orang dari
wajahnya hanya Hermione, terbukti pada:
“Diggory,” kata Harry. “Pasti
dia ikut mendaftar dalam turnamen ini.”
“Anak idiot itu, juara
Hogwarts?” kata Ron, sementara mereka menyeruak menerobos kerumunan anak-anak
yang berceloteh ramai, menuju tangga.
“Dia tidak idiot. Kau tidak
suka padanya hanya karena dia mengalahkan Gryffindor dalam Quidditch,” kata
Hermione. “Kudengar anaknya pintar sekali... dan dia Prefek.”
Hermione mengatakan ini seakan
dengan demikian persoalan jadi beres.
“Kau suka padanya karena dia tampan,”
kata Ron pedas.
“Maaf, aku tidak menyukai
orang hanya karena dia tampan!” kata Hermione jengkel. – p. 287-288
Nah, saya jadi banyakan kepo
daripada nge-review. =)) babay dulu ah...
No comments:
Post a Comment