Tuesday, May 07, 2013

review Harry Potter dan Piala Api

Judul: Harry Potter dan Piala Api
Penulis: J.K. Rowling
Alih bahasa: Listiana Srisanti
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: Oktober 2001
896 hlm.; 20 cm




Review:
Untuk pertama kalinya Rowling tidak lagi berbasa-basi tentang Privet Drive di bab pertama, melainkan memberi suasana misterius Rumah Riddle di desa Little Hangleton. Dibumbui ketegangan melalui Wormtail yang telah bertemu dengan Voldemort dalam mimpi Harry yang membuat bekas lukanya sangat menyakitkan dan membara, yang tanpa disadari Harry, merupakan awal mula dari koneksi istimewa antara Harry dan Voldemort selain tongkat mereka yang mempunyai inti bulu phoenix yang sama. Ini membuat suasana bukunya lebih mencekam dibanding buku-buku sebelumnya, yang biasanya diawali kedamaian di Privet Drive dengan perseteruan kecil antara Harry dan pamannya, Vernon Dursley.

Bagian perseteruan itu masih ada tentunya, tapi dalam buku ini jauh lebih seru dan kocak. Saya tidak yakin mana yang lebih menghibur, keluarga Weasley menghancurkan dapur keluarga Dursley atau lidah Dudley yang membengkak akibat permen buatan Fred dan George. Keseruan lain didapat dari Piala Dunia Quidditch yang mengenalkan pembaca pada Veela dan Leprechaun, namun diakhiri dengan munculnya beberapa Pelahap Maut dan Tanda Kegelapan yang membuat panik kaum penyihir.

Hogwarts menjadi tuan rumah sebuah pertandingan yang sudah tidak diselenggarakan lebih dari seratus tahun, Turnamen Triwizard. Di mana juara Hogwarts yang terpilih akan melawan juara dari dua sekolah lain, Beauxbatons dan Durmstrang. Tapi ada kesalahan, nama Harry muncul sebagai juara keempat. Tidak ada yang tahu bagaimana namanya muncul dari Piala Api, Harry jelas tidak memenuhi persyaratan keikutsertaan yang baru dibuat. Harry memang sudah biasa mendengar gunjingan orang, tapi di tahun ini terasa berpuluh kali lebih berat karena Ron juga ikut memusuhinya.

Transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja Harry, Ron dan Hermione terasa kental di sini. Harry dan Ron yang sama-sama keras kepala, tidak mau minta maaf satu sama lain meskipun dalam hati mereka sama-sama merasa kehilangan. Hermione, yang memang lebih dewasa dari kedua temannya menengahi mereka sampai habis akal. Selain keras kepala, Harry juga agak suka menyepelekan tugas dan mulai merasa gengsi.

Sedikit curcol:
“Buku adalah alat untuk mengembangkan imajinasi, film sebaliknya, merusak imajinasi. Coba kamu ingat, sebelum buku Harry Potter diadaptasi menjadi film, seperti apa wajah tokoh-tokohnya menurut imajinasimu? Sekarang, setelah kamu menonton adaptasi film Harry Potter kemudian membaca buku Harry Potter, seperti apa tokoh yang kamu bayangkan? Menjadi seperti yang di film, bukan?” – Bpk. Firman, dosen di beberapa universitas yang kebetulan sempat mengajar saya di tempat kursus.

Tidak perlu waktu yang lama untuk menjawab “Ya,” dengan penuh kejujuran dan anggukan kepala yang meyakinkan. Memang saya mengalaminya di semua buku Harry Potter, tapi saya paling merasakannya di buku ini. Sebenarnya saya agak benci mengatakannya, tapi imajinasi saya mencapai kebuntuan total ketika membaca bagian yang ada Cedric Diggory-nya. Saya nggak nge-fans sama pemain Cedric Diggory, tapi rupanya wajah Robert Pattinson terlalu tampan untuk disingkirkan dari otak saya. #sigh... #sebalsendiri

Saya sudah banyak melupakan detail-detail kecil dalam buku ini yang telah dihilangkan dalam filmnya. Saya lupa ada tokoh bernama Ludo Bagman dan peri-rumah bernama Winky di buku. Saya lupa bahwa murid Beauxbatons yang ke Hogwarts tidak semuanya perempuan seperti yang digambarkan di film. Saya masih tidak yakin murid Durmstrang lelaki semua atau ada perempuannya, mungkin saya kurang teliti membacanya, tapi sepertinya memang tidak ada keterangan di buku. Saya juga baru ingat bahwa Bellatrix Lestrange punya suami, kalau di film kelihatannya nggak bersuami sih. :D Saya masih ingat Dobby yang memberikan Gillyweed untuk Harry, bukan  Neville, tapi saya lupa kapan tepatnya, membuat perut saya tetap menegang ketika membaca bagian ini.

Tokoh:
Hermione kembali digambarkan sebagai orang yang penuh perhatian. Di buku sebelumnya, Hermione paling perhatian pada Hagrid dibanding kedua temannya, di buku ini Hermione perhatian pada para peri-rumah yangmenurutnyatertindas, sampai mendirikan S.P.E.W (Society for the Promotion of Elfish Welfare). Menjadi yang paling bersungguh-sungguh mencari anggota, sementara Harry dan Ron sibuk mencari pasangan untuk dansa tanpa menyadari Hermione adalah perempuan. =))

Alastor Moody, guru baru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam menunjukkan pada kelas Harry tiga kutukan tak termaafkan. Bahkan saya masih tetap menahan napas ketika membaca bagian ini. Rowling menggambarkan perasaan Harry ketika menyaksikan kutukan Avada Kedavra dengan sangat baik. Entah kenapa saya jadi kasihan terhadap Draco saat ditransfigurasi menjadi musang oleh Moody, dibanting-banting seperti itu, untung saja McGonagall segera datang. Mata ajaib Moody menjadi daya tarik tersendiri bagi saya, dan meskipun ada yang tidak beres dengan Moody yang hadir di Hogwarts, setidaknya Moody telah mengajarkan cara untuk melawan kutukan Imperius, salah satu kutukan tak termaafkan yang cukup dominan di buku ini.

Rita Skeeter, reporter Daily Prophet yang menyebalkan. Memperparah tekanan yang harus dihadapi Harry, tapi Rita skeeter pastilah penyihir hebat karena ternyata dia seorang animagus tidak terdaftar.

Barty Crouch Jr. pastilah penyihir yang sangat hebat, bisa mengelabuhi Albus Dumbledore dengan Occlumency yang mungkin lebih hebat dari Severus Snape. Sayang cuma muncul di buku ini.

Hasil kepo:
Dari Omniocular, salah satu pertanyaan saya di review sebelumnya terjawab. Ya, Harry memberi hadiah natal untuk teman-temannya, tapi hadiah ulang tahunnya belum tahu sih. Hihihi... #kagakpenting

Sepertinya sinis dan kocaknya Ron itu diturunkan dari Mrs. Weasley, hanya saja Mrs. Weasley lebih jarang. Mungkin karena faktor usia. :P
“Baik,” tukas Mrs. Weasley jengkel. “Telanjang saja kalau begitu. Dan, Harry, jangan lupa foto dia: Kebetulan sekali, aku perlu ketawa.” – p. 195

Ada beberapa ironi yang saya tangkap di buku ini. Misal:
“Barty Crouch berkali-kali bilang begitu,” kata Bagman, matanya yang bulat melebar dengan polos, “tapi saat ini betul-betul sibuk sekali, kita tak bisa kirim orang. Oh... panjang umur! Barty!” – p. 116
Kematian menghampiri yang panjang umur.

“Dan itulah sebabnya, anak-anak,” teriak Mr. Weasley mengatasi kebisingan penonton di bawah, “jangan menilai orang hanya dari wajahnya saja!” – p. 142

“Jadi... kalian sudah punya pasangan untuk pesta dansa?”
“Belum,” jawab Ron.
“Kalau begitu harus buru-buru, kalau tidak yang cantik-cantik sudah keambil semua,” kata Fred. – p. 475

“Kita harus bergerak, kau tahu... minta seseorang. Dia betul. Kita kan tak mau terpaksa pergi dengan sepasang Troll.”
Hermione mendengus jengkel.
“Sepasang... apa, maaf?”
“Ah... kau tahu,” kata Ron mengangkat bahu. “Lebih baik aku pergi sendiri daripada denganEloise Midgen, misalnya.”
“Belakangan ini jerawatnya sudah banyak berkurangdan dia sangat menyenangkan!”
“Hidungnya miring,” kata Ron.
“Oh, begitu,” kata Hermione, siap berperang. “Jadi, pada dasarnya kalian akan mengajak gadis tercantik yang mau, meskipun dia sangat menyebalkan?”
“Er... yeah, kira-kira begitu,” kata Ron. – p. 476

Yang tidak menilai orang dari wajahnya hanya Hermione, terbukti pada:
“Diggory,” kata Harry. “Pasti dia ikut mendaftar dalam turnamen ini.”
“Anak idiot itu, juara Hogwarts?” kata Ron, sementara mereka menyeruak menerobos kerumunan anak-anak yang berceloteh ramai, menuju tangga.
“Dia tidak idiot. Kau tidak suka padanya hanya karena dia mengalahkan Gryffindor dalam Quidditch,” kata Hermione. “Kudengar anaknya pintar sekali... dan dia Prefek.”
Hermione mengatakan ini seakan dengan demikian persoalan jadi beres.
“Kau suka padanya karena dia tampan,” kata Ron pedas.
“Maaf, aku tidak menyukai orang hanya karena dia tampan!” kata Hermione jengkel. – p. 287-288

Nah, saya jadi banyakan kepo daripada nge-review. =)) babay dulu ah...

No comments:

Post a Comment