Tidak banyak yang bisa
diceritakan dalam review ini. Mungkin karena saya membaca ebook—yang
saya duga tidak selengkap buku aslinya—atau bisa saja memang otak saya bebal,
sehingga kesan baca buku ini untuk ke dua kalinya tidak terlalu jauh berbeda
dengan saat pertama kali membacanya. Tidak banyak, sampai saya akhirnya mulai
men-download dan membaca semua serinya dan tiba pada seri kelima—satu-satunya
hasil download-an yang tamat—mendapati saya begitu merinding dan
merasa bersalah karena telah lupa pada cerita versi buku akibat otak saya telah
dipengaruhi versi film yang sudah saya tonton berkali-kali. Saya merasa sedih
karenanya dan saya berusaha membuat review ini dengan mata yang lebih
terbuka, karena saya percaya ada keistimewaan yang bisa membuat saya selalu
terbius dengan Harry Potter—yang sampai kemarin tidak dapat saya
ungkapkan, entah kenapa.
Menurut saya, kurang tepat me-review
satu per satu buku Harry Potter, karena buku-bukunya merupakan sebuah kesatuan
yang sulit dipisahkan. Tanpa seri selanjutnya, Harry Potter dan Batu Bertuah
tampak agak biasa bila yang membaca bukanlah fanatik Rowling sejak dulu, karena
cerita-ceritanya merupakan perkembangan usia dari tahun ke tahun Harry Potter
berada di Hogwarts. Buku pertama tentu saja tidak terlalu “Wah” dibandingkan
dengan seri-seri akhir—yang saya anggap mulai dari seri keempat ceritanya sudah
berkembang cukup jauh menuju ke kedewasaan Harry. Tapi dikarenakan saya
mengikuti Hotter Potter Challenge yang mengadakan event baca bareng
dan review buku Harry Potter dari jilid 1-7, satu di tiap bulannya, saya
mencoba mengungkapkan review ini sebaik mungkin. Walau mungkin belum
terlalu baik, karena saya mempunyai kecenderungan sebagai penggemar fanatik
Rowling, jadi tentu saja pendapat saya sangat subjektif.
Pembukaan yang dibuat Rowling
untuk memperkenalkan dunia sihir miliknya pada kita—para pembaca—dirasa
cukup tepat sasaran. Dimulai dari Mr. dan Mrs. Dursley yang mempunyai
kehidupan normal, senormal yang ingin mereka jalankan bersama anak laki-laki
mereka yang besar-gemuk bernama Dudley. Pembaca digiring untuk menyaksikan
keanehan-keanehan yang dilihat Mr. Dursley pada suatu hari. Kucing membaca peta,
orang-orang berpakaian aneh yang memanggil dia dengan sebutan Muggle,
burung hantu dan bintang jatuh di seluruh Inggris, serta yang paling membuatnya
resah, bisik-bisik tentang keluarga Potter dan anak mereka—Harry.
Memang, pembaca tidak dibiarkan
terlalu lama penasaran tentang siapa dan apa hubungannya keluarga Potter dan
keluarga Dursley, juga mengapa bisik-bisik mengenai keluarga Potter membuat Mr.
Dursley sangat resah. Tapi tetap ada misteri-misteri yang berhasil Rowling
ciptakan. Membuat buku Harry Potter melekat di tangan tanpa saya—sebagai
pembaca—ingin
melepaskannya sebelum mencapai halaman terakhir. Betapa bodohnya saya baru menyadari
hal ini.
Pembaca akan dibuat penasaran
pada hal lain. Tentang “Kau-tahu-siapa”—yang sesungguhnya tidak mungkin
pembaca tahu bila dalam sebuah percakapan, seseorang di antaranya akan menyebut
“Kau-tahu-siapa” dengan sebutan Voldemort—yang bila nama aslinya
disebutkan akan membuat lawan bicaranya berjengit—sekali lagi masih tak tahu
kenapa sampai tiba waktunya.
Harry Potter, keponakan Mr. dan
Mrs. Dursley, anak yang ditinggalkan di depan pintu rumah keluarga Dursley
sewaktu masih bayi. Tumbuh tanpa tahu asal-usul yang sebenarnya dan
diperlakukan buruk oleh keluarga Dursley. Melalui mata Harry, pembaca akan
diberi kejutan-kejutan kecil. Banyak kejadian aneh menimpa Harry pada saat dia
belum menyadari kekuatan sihir yang dimilikinya. Misal pada saat rambutnya yang
sudah dipotong sampai nyaris gundul, tumbuh sendiri keesokan harinya seperti
tidak pernah dipotong sama sekali. Atau sweter yang mengecil sendiri ketika
Harry dipaksa memakainya, merasa bisa berbicara dengan ular, menghilangkan kaca
di kebun binatang. Adakah yang bisa lebih aneh dari semua itu?
Tentu saja semua peristiwa itu
bisa sedikit tercerahkan jika saja Bibi Petunia dan Paman Vernon tidak berusaha
menyembunyikan kondisi Harry yang sebenarnya. Bahwa Harry adalah seorang
penyihir, seperti ayah dan ibunya. Dan dia telah didaftarkan masuk Sekolah Sihir
Hogwarts oleh orang tuanya. Bahwa dirinya terkenal, orang tuanya juga dikenal
sebagai penyihir hebat. Semua kenyataan yang hampir saja tak bisa diterima akal
Harry saking kagetnya. Tapi setelah cerita-cerita tentang dunia sihir mulai
bisa diterima dan dipercayainya, Harry menjadi mata bagi pembaca untuk mengenal
dunia sihir. Pembaca juga akan dibuat penasaran melalui Harry yang juga tidak
tahu banyak tentang dunia sihir. Di sinilah keberhasilan Rowling membuat dunia
sihir terasa lebih nyata. Karena semua hal tidak lantas didiktekan dan
dijejalkan begitu saja kepada pembaca, namun melalui narasi yang begitu alami, seakan
pembacalah yang bertanya-tanya tentang sihir itu sendiri, bukannya Harry.
Setidaknya itulah menurut saya. #nyengirlebar
Pertemuan Harry dan Ron pun
diatur Rowling dengan sangat baik. Mereka berdua tampak sama-sama tertarik satu
sama lain, membuat perbincangan terjadi dua arah. Harry yang untuk pertama
kalinya memiliki teman tentu saja merasa sangat senang. Dan saya terkikik
mengetahui reaksi sangat terkejut Ron saat mengetahui foto di dunia Muggle
tidak bergerak. Hahaha.. Kelak Ron akan menjadi teman terpenting dan terbaik
Harry, bahkan mungkin sudah, dimulai dari saat Draco Malfoy yang tertarik pada
ketenaran meminta Harry untuk memilih teman seperti dirinya.
“Kau akan segera tahu beberapa
keluarga penyihir jauh lebih baik daripada yang lain, Potter. Jangan sampai
berteman dengan orang yang salah. Aku bisa membantumu dalam hal ini.”
Dia mengulurkan tangan untuk
menjabat tangan Harry, tetapi Harry tidak menyambutnya. “Kurasa aku bisa
menentukan sendiri mana orang yang salah, terima kasih,” katanya dingin.
Harry memilih Ron dan walaupun
tidak dijelaskan perasaan Ron saat itu, jika saya menjadi Ron yang mempunyai
sifat kurang percaya diri, saya akan merasa tersanjung mendengar perkataan
Harry dan rela menjadi teman terbaiknya mulai saat itu juga. Tapi hal tersebut secara
otomatis juga membuat Malfoy akan selalu menjadi musuh Harry di sekolah.
Pada tahun pertama, masing-masing
siswa akan dipilih untuk masuk salah satu dari empat asrama: Slytherin,
Gryffindor, Ravenclaw atau Hufflepuff. Sebutannya sih memang dipilih, dan yang
memilih adalah sebuah topi lusuh yang bisa bicara dan bernyanyi, tapi
sebenarnya topi lusuh yang disebut sebagai topi seleksi tersebut memilihkan
asrama untuk murid tahun pertama sesuai dengan keinginan terdalam
murid-muridnya. Dibuktikan dengan kutipan-kutipan ini:
Malfoy
“... Sudah tahu kau akan di
asrama mana?”
“Tidak,” jawab Harry, yang
makin lama merasa semakin bodoh.
“Yah, memang tak ada yang tahu
sampai mereka tiba di sana, kan, tapi aku tahu aku akan masuk ke Slytherin,
semua keluarga kami di sana—bayangkan kalau sampai di Hufflepuff.
Kurasa aku akan pindah, iya, kan?”
Hermione dan Ron
“... Apakah kalian tahu kalian
akan masuk asrama mana? Aku sudah mencari informasi dan aku berharap aku masuk
Gryffindor. Kedengarannya itu yang paling baik. Kudengar Dumbledore sendiri
juga dulu di sana. Tetapi kurasa Ravenclaw juga tidak terlalu buruk. ...”
“Di rumah asrama mana pun aku nanti, kuharap
tidak serumah dengan dia,” kata Ron. ...
Di asrama mana kakak-kakakmu?”
tanya Harry.
“Gryffindor,” kata Ron.
Kemuraman menyelimuti wajahnya lagi. “Mum dan Dad juga di situ. Aku tak tahu
apa yang akan dikatakan mereka kalau aku tidak bisa masuk situ. Kurasa
Ravenclaw tidak terlalu buruk, tetapi bayangkan kalau mereka menempatkan aku di
Slytherin.”
Harry
“Hmmm,” terdengar suara kecil
di telinganya. “Sulit. Sangat sulit. Keberanian besar, rupanya. Otak juga
encer. Ada bakat, o, astaga, ya—dan kehausan untuk membuktikan diri,
ah, itu menarik... Jadi sebaiknya di mana kau kutempatkan?” Harry mencengkeram
tepi bangku dan membatin, Jangan Slytherin, jangan Slytherin.
“Jangan Slytherin, eh?” kata
suara kecil itu. “Kau yakin?kau bisa jadi penyihir hebat lhi, semuanya ada di
kepalamu, dan Slytherin diragukan bisa membantumu mencapai kemasyhuran, tak
lagi—tidak?
Yah, kalau kau yakin—lebih baik GRYFFINDOR!”
Pertemuan dengan Hermione tidak
terlalu menyenangkan pada awalnya. Hermione adalah anak perempuan kutu buku
yang sok dan suka ikut campur. Harry dan Ron tidak menyukainya, sampai pada
hari Halloween Hermione mendengar percakapan Ron dan Harry yang membuatnya
menangis di toilet perempuan. Dan sialnya, hari itu ada troll yang masuk ke dalam
kastil di waktu pesta Halloween, dan troll tersebut sedang menuju toilet
perempuan. Harry dan Ron pun menyelamatkan Hermione dari troll tersebut. Ada
kalimat yang saya sukai dalam peristiwa ini.
Tetapi sejak saat itu,
Hermione Granger menjadi teman mereka. Ada hal-hal tertentu yang tak bisa
dialami bersama tanpa kalian jadi saling menyukai, dan membuat pingsan troll
gunung setinggi lebih dari tiga setengah meter adalah salah satunya.
Dan inilah awal dari petualangan
dan persahabatan mereka bertiga.
Rowling dengan cepat membawa
pembaca terhanyut dalam petualangan-petualangan lain. Membuat Harry menyaksikan
pertumbuhan Norbert, naga Punggung Bersirip Norwegia yang langka, peliharaan
Hagrid. Karena naga seharusnya tidak boleh dipelihara dia harus berusaha
mengirimkan Norbert pada kakak Ron, Charlie, yang sedang belajar tentang naga
di Rumania. Akibatnya adalah detensi bersama Hagrid masuk ke dalam Hutan
Terlarang, yang jelas saja segera menjadi petualangan lain baginya. Harry
menyaksikan bagaimana kematian unicorn dan diselamatkan oleh centaurus bernama
Firenze.
Semua petualangan yang dialami
Harry terpusat pada satu titik utama, yaitu tentang Batu Bertuah.
Petualangan-petualangan dengan troll, naga, unicorn merupakan petunjuk adanya
seseorang yang berniat mencuri Batu Bertuah itu. Dan melalui mata dan pikiran
tiga orang anak berusia sebelas tahun, Rowling menggiring pembaca untuk percaya
bahwa Snape-lah yang ingin mencuri Batu Bertuah.
Pendukung petualangan juga ada
Cermin Tarsah yang ditemukan Harry secara tidak sengaja di sebuah ruang kelas
tak terpakai. Cermin yang menampakan keluarganya, hal yang tentu saja sangat
ingin dilihat Harry. Tapi ketika malam berikutnya Harry mengajak Ron untuk
melihat keluarga Harry, yang dilihat Ron adalah dirinya sendiri menjadi Ketua
Murid, memegang Piala Asrama dan Piala Quidditch. Meskipun tidak tahu apa
artinya itu, Harry kembali lagi pada malam ketiga dan ketahuan oleh Dumbledore.
Tapi Dumbledore bukanlah McGonagall yang suka mengurangi poin asrama atau
memberikan detensi. Dia memberikan yang lebih berarti, yaitu pengajaran.
“Biar kujelaskan. Orang yang
paling bahagia di dunia bisa menggunakan Cermin Tarsah seperti cermin biasa, yaitu,
kalau dia memandang cermin itu dia hanya melihat dirinya seperti apa adanya.
Apakah ini membantu?”
Harry berpikir. Kemudian dia
berkata perlahan, “Cermin itu memperlihatkan kepada kita apa yang kita
inginkan... apa saja yang kita inginkan...”
“Ya dan tidak,” kata
Dumbledore pelan. “Cermin itu hanya menunjukkan hasrat hati kita yang paling
mendalam. ... . Bagaimanapun juga, cermin ini tidak memberi kita baik
pengetahuan maupun kebenaran. Banyak orang yang sudah tersia-sia di depan
cermin ini, terpesona oleh apa yang mereka lihat, atau jadi gila karenanya,
karena tak tahu apakah yang diperlihatkan cermin itu riil atau bahkan mungkin.”
Dan bahkan Dumbledore juga
memberi sedikit petunjuk petualangan untuk Harry.
“Besok cermin ini akan
dipindahkan ke tempat baru, Harry, dan aku memintamu agar tidak mencarinya
lagi. Jika suatu kali nanti kau kebetulan melihatnya lagi, kau sudah siap. Tak
ada gunanya memikirkan impian berlama-lama sampai lupa hidup, ingat itu. Nah
sekarang bagaimana kalau kupakai lagi jubah istimewa itu dan pergi tidur?”
Dunia sihir sangat penting bagi
Harry, mengingat kehidupan lamanya di keluarga Dursley sangat tidak
menyenangkan. Oleh karena itu Harry berusaha mempertaruhkan apa pun demi
kehidupan barunya. Yah, itu sebabnya Harry tampak seperti anak yang suka ikut
campur seperti Hermione di awal cerita. Namun Harry beruntung memiliki
teman-teman yang setia, meskipun Ron agak penakut dibandingkan dengan Harry dan
Hermione, tapi setidaknya mereka pantas berada di asrama Gryffindor. Asrama
yang dikenal berisi orang-orang pemberani.
“Apa boleh buat kalau begitu,
kan?” kata Harry. Kedua temannya menatapnya. Wajah Harry pucat dan matanya
berkilauan. “Aku akan ke sana malam ini dan aku akan berusaha mendapatkan batu
itu lebih dulu.”
“Kau gila!” kata Ron.
“Jangan!” cegah Hermione.
“Setelah McGonagall dan Snape mengancammu seperti itu? Kau akan dikeluarkan!”
“JADI KENAPA?” teriak Harry.
“Tidak mengertikah kalian? Jika Snape berhasil mendapatkan batu itu, Voldemort
akan kembali! Tidak pernahkah kalian dengar bagaimana keadaannya ketika dia
mencoba merobohkannya, atau mengubahnya menjadi sekolah untuk Sihir Hitam!
Kehilangan angka tidak berarti lagi, kalian paham? Apakah kalian pikir dia akan
membiarkan kalian dan keluarga kalian hidup tenang jika Gryffindor memenangkan
Piala Asrama? Kalau aku tertangkap sebelum mencapai tempat batu itu disimpan,
yah, aku harus kembali ke keluarga Dursley dan menunggu Voldemort menemukanku
di sana. Itu Cuma berarti aku menunda kematian sebentar, karena aku tak mau
menyeberang ke Sihir Hitam! Aku akan menembus pintu jebakan malam ini dan apa
pun yang kalian katakan, takkan bisa mencegahku! Voldemort membunuh orangtuaku,
ingat?”
Dia mendelik menatap mereka.
“Kau betul, Harry,” kata
Hermione pelan.
“Aku akan memakai Jubah Gaib,”
kata Harry. “Untunglah jubah itu dikembalikankepadaku.”
“Tapi apa jubah itu bisa
menyelubungi kita bertiga?” tanya Ron.
Dari percakapan ini, sebenarnya
terlihat bahwa Harry telah siap mati untuk menghadapi Voldemort, Harry juga
sudah memiliki firasat bahwa dia mempunyai hubungan khusus dengan Voldemort
karena bekas lukanya selalu terasa berdenyut ketika Voldemort ada di dekatnya.
Yah, tapi kepastian nasibnya tentu saja tidak diungkapkan begitu saja oleh
Rowling. Itulah sebabnya dalam buku pertama tidak diungkapkan terlalu banyak
mengenai hubungan khusus antara Harry dan Voldemort. Paling sebatas bulu
phoenix dalam tongkat mereka berdua disebutkan berasal dari phoenix yang sama.
Saya mengutip beberapa dialog
Dumbledore saat berduaan dengan Harry di sayap rumah sakit, tapi ebook
saya yang kacau-balau ini tampaknya akan membuat beberapa perubahan dalam versi
buku aslinya, karena saya terpaksa menyusun ulang beberapa kalimatnya.
“Kata Voldemort, dia terpaksa membunuh ibu
saya karena Ibu mencoba mencegahnya membunuh saya. Tetapi kenapa dia ingin
membunuh saya?”
Dumbledore menghela napas
dalam-dalam. “Sayang sekali, hal pertama yang kau tanyakan, tak bisa kujawab.
Tidak hari ini. Tidak sekarang. Kau akan tahu, suatu hari nanti.. singkirkan
dari pikiranmu untuk sementara, Harry.Kalau kau sudah lebih besar... aku tahu
kau tidak senang mendengarnya... kalau kau sudah siap, kau akan tahu”
Harry tahu tak ada gunanya
membantah.
“Tetapi kenapa Quirell tidak
bisa menyentuh saya?”
"Ibumu meninggal karena
berusaha menyelamatkanmu. Kalau ada satu hal yang tak bisa dimengerti
Voldemort, itu adalah cinta. Dia tidak menyadari bahwa cinta sekuat cinta ibumu
kepadamu, meniggalkan bekas. Bukan seperti bekas luka, bukan tanda yang
kelihatan kecuali ada alasan kuat untuk dicintai begitu dalam, meskipun orang
yang mencintai kita sudah tiada, akan memberi kita perlindungan itu ada di
kulitmu. Quirell, yang penuh kebencian, keserakahan, ambisi, dan membagi
jiwanya dengan Voldemort tidak bisa menyentuhmu karena alasan ini. Sungguh
suatu penderitaan menyentuh orang yang dilindungi oleh sesuatu yang sangat
baik.”
Hmm... adakalanya Harry bertemu
Quirell di Leaky Cauldron dan bersalaman. Saya rasa saat itu Quirell belum
merasakan kebencian, keserakahan, ambisi meskipun sudah membagi jiwanya dengan
Voldemort. Saat itu adalah pertemuan yang tampaknya membuat Voldemort senang
karena bertemu dengan musuh abadinya setelah sepuluh tahun menunggu, dan Harry
tidak sedang memegang Batu Bertuah yang sangat diinginkan Voldemort. Yah,
setidaknya itu sedikit analisis sotoy saya. Hehehe..
Gaya bahasa yang dipakai Rowling
dalam Harry Potter sebenarnya sering terdengar sarkas. Berikut saya kutip contoh
yang paling menarik menurut saya.
Albus Dumbledore tampaknya
tidak menyadari bahwa dia baru saja tiba di jalan tempat segala sesuatu dari
namanya sampai sepatunya tidak diinginkan.
Harry juga menjadi pemain
quidditch termuda selama seabad ini, mengingat adanya peraturan yang melarang
anak kelas satu bermain quidditch. Tapi saya tidak berniat membahas banyak
tentang quidditch, karena hanya sedikit berhubungan dengan petualangan Batu
Bertuah.
Nah, review ini sudah
terlalu panjang untuk dilanjutkan, sebaiknya saya segera menyudahinya.
#pakaijubahgaibteruskabur
Wow, reviewnya panjang juga ya? Tapi setuju deh, sebenernya Harry Potter ini lebih baik direview secara keseluruhan. Tapi ada bagian2 yang kita suka/pengen tandai dari setiap buku kan ya? ;)
ReplyDeleteTspi lebih sering jadi bingung, mbak. Terlalu banyak yang ingin disampaikan di review dan akhirnya jadi spoiler. =))
Delete